
Oleh
Kholid yahya Mahasiswa Universitas Brawijaya Alumni Pesantren Anak yatim Al-Bisri
Berhari-hari aku mengenalmu, lebih dari itu malah. Seperti cinta klasik lainnya, di tempat kita belajar, di dalam kelas, dan diruang yang sama. Ya, se-mainstream itu, memang awalan ini tidak ada diorama yang terlalu mengasikkan.
Berawal dari tugas-tugas kelompok yang harus di emban secara komunal, aku mulai kenal kamu, muncul satu sifat yang ku pikir langkah sekali ini dimiliki perempuan lain, dan kamu memiliki sifat ini, kamu secara adaptif bisa mengayomi tugas yang seharusnya bisa di emban secara bersama, namun kau kerjakan sendiri, tanpa mengeluh, tanpa pamrih.
Entah, siapa yang mengantar, dimana terbitnya, dan bagaimana ia muncul, sebuah perasaan tiba-tiba timbul di dasar hatiku, tak bisa ku sembunyikan, terbesit secara diam-diam, abstrak bila dirasakan, tak bisa dilukiskan dalam kalimat maupun kata, bila pun bisa, mungkin hanya selarik, bahwa aku mulai suka padamu,tapi belum cinta, mungkin nanti.
Aku menciba membiasakan diri, mulai berbicara atau lebih tepatnya mengobrol denganmu, meskipun hanya via dunia maya, sebab dengan dunia nyata, kau tidak perkenankan dirimu bertatap muka denganku, aku bisa menerimanya. Terlampau lama sudah aku berbicara panjang lebar denganmu, dari problematika paling penting sampai hal yang tak penting tuk di sampaikan, semuanya sudah jelas kusampaikan, tersurat maupun tidak.
Sampai pada akhirnya, Aku mengomentari ststusmu, dan ini pun menjadi kebiasaanku, di seberang sana kau menuliskan, bahwa kau perlu uang, entah untuk apa itu. Dengan nekatnya, ku tanyakan mahar yang bisa untuk melepasmu dari walimu. Kau pun tak paham, sudah kutebak. Ku coba jelaskan dengan nada bercandaku, masa aku yang bersedia membayar maharmu, lalu kau pun menjawab,
Jangan.
Tegas, padat, jelas, dan tak mungkin multi-tafsir.
Tak tahu lagi, dengan apa aku berbuat, menghadapi satu kata yang langsung membuatku tak ada gairah, setidaknya untuk memilikimu.
Untuk perempuan yang tertinggal di dalam kenangan, aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu.
Kereta Berbicara
Aku diam ketika kereta melaju
Memecah heningnya malam,
Dan mengusir pekatnya
Hentakan rel terasa menggelegar
Mengalahkan suara lainnya
Apalagi suara hati
Sudah sunyi sedari dulu
Ketika aku tak lagi kuasa mendengar, Kata terakhir darimu